Filsafat Barat dan Renaissance

PENDAHULUAN
Renaissance berarti kelahiran kembali, yaitu lahirnya kebudayaan Yunani dan kebudayaan Romawi. Pada saat itu gejala masyarakat untuk melepaskan diri dari kungkungan dogmatisme Gereja sudah mulai tampak di Eropa. Abad pertengahan manusia tidak bisa berekspresi secara bebas, manusia dininakbobokkan lebih kurang 1000 tahun lamanya.
Pada abad ke 14 dan 15 terutama di Italia muncul keinginan yang kuat, sehingga memunculkan penemuan-penemuan baru dalam bidang seni dan sastra, dari penemuan tersebut sudah memperlihatkan suatu perkembangan baru. Manusia berani berpikir secara baru, antara lain mengenai dirinya sendiri, manusia menganggap dirinya sendiri tidak lagi sebagai viator mundi, yaitu orang yang berziarah di dunia ini, melainkan sebagai faber mundi, yaitu orang yang menciptakan dunianya.
Pada saat itu manusia mulai dianggap sebagai pusat kenyataan, hal itu terlihat secara nyata dalam karya-karya seniman zaman renaissance seperti Donatello, Botticelli, Michelangelo (1475-1564), Raphael (1483-1520, Perugino (1446-1526, dan Leonardo da Vinci (1452-1592). Dalam bidang penjelajahan terlihat beberapa nama besar seperti Cristopher Colombus (1451-1506) dan Ferdinand Magellan (1480-1521). Sedangkan dalam bidang ilmu pengetahuan terdapat beberapa tokoh hebat antara lain Nicolaus Copernicus (1478-1543), Andreas Vasalius (1514-1564), Galileo Galilei (1546-1642),  Johannes Kepler (1571-1642), dan Francis Bacon (1561-1632) bangsawan Inggris yang meletakkan dasar filosofis untuk perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dengan mengarang suatu maha karya yang  bermaksud menggantikan teori Aristoteles tentang ilmu pengetahuan dengan suatu teori baru dalam bukunya Novum Organon.
           
Zaman renaissance sering disebut sebagai sebagai zaman humanisme, sebab pada abad pertengahan manusia kurang dihargai sebagai manusia, kebenaran diukur berdasarkan kebenaran gereja,  bukan menurut yang dibuat oleh manusia. humanisme menghendaki ukuran haruslah manusia, karena manusia mempunyai kemampuan berpikir, berkreasi, memilih dan menentukan, maka humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan mengatur dunianya. Ciri utama renaissance dengan demikian adalah humanisme, individualisme, lepas dari agama. Manusia sudah mengandalkan akal (rasio) dan pengalaman (empiris) dalam merumuskan pengetahuan, meskipun harus diakui bahwa filsafat belum menemukan bentuk pada zaman renaissance, melainkan pada zaman sesudahnya, yang berkembang pada waktu itu sains, dan penemuan-penemuan dari hasil pengembangan sains yang kemudian berimplikasi pada semakin ditinggalkan agama kristen karena semangat humanisme. Fenomena tersebut cukup tampak pada abad modern. 

            Zaman modern merupakan zaman tegaknya corak pemikiran filsafat yang berorientasi antroposentrisme, sebab manusia menjadi pusat perhatian. Pada masa Yunani dan abad pertengahan filsafat selalu mencari substansi prinsip induk seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani menemukan unsur-unsur kosmologi sebagai prinsip induk segala sesuatu yang ada. Sementara para tokoh abad pertengahan, Tuhan menjadi prinsip bagi segala yang ada, namun pada zaman modern, peranan substansi diambil alih oleh manusia sebagai ‘subjek’ yang terletak di bawah seluruh kenyataan, dan memikul seluruh kenyataan yang melingkupinya. Oleh karena itu zaman modern sering disebut sebagai zaman pembentukan ‘subjektivitas’, karena seluruh sejarah filsafat zaman modern dapat dilihat sebagai satu mata rantai perkembangan pemikiran mengenai subjektivitas. Semua filsuf zaman modern menyelidiki segi-segi subjek manusiawi. Aku sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan pusat kehendak, dan pusat perasaan.
Filsuf paling awal meletakkan dasar filsafat secara modern dengan cara menyelidiki subjektivitas manusia dengan pendekatan rasio adalah Rene Descartes, melalui Descarteslah warna kemoderenan benar-benar hidup yang kemudian diikuti oleh filsuf-filsuf sesudahnya dengan mengembangkan aliran-aliran lain seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, sampai pada munculnya filsafat analitik yang mempersoalkan kaidah bahasa dan penafsiran terhadap teks-teks dan bahasa.
Perkembagan Filsafat Barat Modern
Akhir abad ke 16 Eropa memasuki abad sangat menentukan dalam dunia perkembangan filsafat, sejak Descartes, Spinoza dan Leibniz mencoba untuk menyusun suatu sistem filsafat dengan dunia yang berpikir dalam pusatnya, yaitu suatu sistem berpikir rasional. Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme pada dasarnya ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan filsafat, dalam agama rasionalisme adalah lawan autoritas. Sementara dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisme. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam filsafat berguna sebagai teori pengetahuan.
            Sejarah rasionalisme pada esensialnya sudah ada sejak Thales ketika merumuskan filsafatnya, kemudian pada kaum sofis dalam melawan filsafat Socrates, Plato dan Aristoteles, dan beberapa filsuf sesudahnya. Dalam abad modern tokoh utama rasionalisme adalah Rene Descartes,[6] sebab Descarteslah orang yang membangun fondasi filsafat jauh berbeda bahkan berlawanan dengan fondasi filsafat abad pertengahan.[7] Dasar filosofis utama Descartes adalah bahwa perkembangan filsafat sangat lambat bila dibandingkan dengan laju perkembangan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambatnya perkembangan filsafat. Descartes ingin melepaskan dari dominasi gereja dan mengembalikan pada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Dengan demikian corak utama filsafat modern yang dimaksud di sini adalah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani kuno. Rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes, kemudian dikembangkan lagi oleh Spinoza, Leibniz dan Pascal.
            Paham yang berlawanan dengan rasionalisme adalah empirisme. aliran ini lebih menekankan peranan pengalaman dan mengecilkan peran akal dalam memperoleh pengetahuan. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Dalam menguatkkan doktrinya, empisme mengembangkan dua teori, yaitu teori tentang makna yang begitu tampak pada pemikiran J. Locke  dalam buku An Essay concerning human understanding ketika ia menentang innate idea (ide bawaan) rasionalisme Descartes. Teori tentang makna kemudian dipertegas oleh D. Hume dalam bukunya Treatise of human nature dengan cara membedakan antara idea dan kesan (impression). Pada abad 20 kaum empirisis cendrung menggunakan teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar atau tidak. Filsafat empirisme tentang teori makna berdekatan dengan positivisme logis. Oleh karena itu, bagi penganut empirisis jiwa dapat dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola jumlah yang dapat diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama. Teori kedua yaitu teori pengetahuan, menurut pengikut rasionalisme ada bbeberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian mempunyai sebab, seperti dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika yang dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh lewat institusi rasional. Empirisme menolak pendapat seperti itu, mereka menganggap bahwa kebenaran hanya aposteriori yaitu pengetahuan melalui observasi. Tokoh empirisme yang eksis mengembangkan teori ini J. Locke, D. Hume dan H. Spencer.
              Rasionalisme dan empirisme dalam pandangan kritisisme sudah terjebak pada paham eklusivisme, ke dua aliran ini sama-sama mempertahankan kebenaran, seperti rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio, sementara empirisme mengatakan sumber pengetahuan adalah pengalaman, padahal masing-masing aliran ini memiliki kelemahan-kelemahan. Dalam kondisi seperti itu Immanual Kant tampil untuk mendamaikan kedua aliran tersebut, menurut Kant bahwa pengetahuan merupakan hasil kerja sama dua unsur yaitu ‘pengalaman inderawi’ dan ‘keaktifan akal budi’. Pengalaman inderawi merupakan unsur aposteriori (yang datang kemudian), akal budi merupakan unsur apriori (yang datang lebih dulu). Empirisme dan rasionalisme hanya mementingkan satu dari dua unsur ini. Kant telah memperlihatkan bahwa pengetahuan selalu merupakan sebuah sintesis.[8]
            Revolusi kopernikan yang telah diadakan Kant dalam bidang filsafat dengan kritisismenya, diteruskan dengan lebih radikal lagi oleh pengikutnya.[9] Para murid Kant tidak puas terhadap batas kemampuan akal, alasannya karena akal murni tidak akan dapat mengenal hal yang berada di luar pengalaman. Untuk itu dicari suatu sistem metafisika yang ditemukan lewat dasar tindakan. Para idealis dalam hal ini tidak sepakat dengan Kant dan mereka menyangkal adanya ‘das ding an sich’ (realitas pada dirinya). Menurut mereka, Kant jatuh dalam kontradiksi dengan mempertahankan ‘das ding an sich’.
Menurut Kant sendiri penyebab merupakan salah satu katagori akal budi dan akibatnya tidak boleh disifatkan pada das ding an sich. Karena alasan-alasan serupa itu para idealis mengesampingkan ‘das ding an sich’. Menurut pendapat mereka tidak ada suatu realitas pada dirinya atau suatu realitas yang objektif. Realitas seluruhnya merupakan hasil aktivitas suatu subjek, yang dimaksud subjek di sini bukan subjek perorangan melainkan subjek absolut. Pemikiran idealisme dikembangkan oleh Fichte dengan idealisme subjektif, Schelling dengan idealisme objektif dan Hegel dengan idealisme mutlak.
            Perkembangan filsafat idealisme yang menyetarafkan realitas seluruhnya dengan roh atau rasio menuai pesimisme dengan lahirnya positivisme. Aliran ini mulanya dikembangkan oleh A. Comte, menurut positivisme pengetahuan tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta, untuk itu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa bagi aliran ini, sehingga mereka menolak metafisika dan mengutamakan pengalaman, meskipun positivisme mengandalkan pengalaman dalam mendapatkan pengetahuan, namun mereka membatasi diri pada pengalaman objektif saja.[10]
            Pada pertengahan abad ke 20 ilmu pengetahuan positif berkembang pesat di Eropa dan Amerika. Salah satu metode kritis yang berkembang pada waktu itu yaitu munculnya filsafat fenomenologi sebagai sumber berpikir kritis. Fenomenologi adalah metode yang diperkembangkan oleh Edmund Husserl berdasarkan ide-ide gurunya Franz Brentano. Menurut Husserl bahwa objek harus diberi kesempatan untuk berbicara, yaitu dengan cara deskripsi fenomenologi yang didukung oleh metode deduktif, tujuannya adalah untuk melihat hakikat gejala-gejala secara intuitif. Sedangkan metode deduktif mengkhayalkan fenomena berbeda, sehingga akan terlihat batas invariable dalam situasi yang berbeda.
            Sementara di Amerika salah satu aliran filsafat berkembang adalah aliran pragmatisme. Aliran ini mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dan bermanfaat secara praktis. Ide aliran pragmatisme berasal dari William James, pemikiran James pada awalnya sederhana karena James melihat bahwa telah terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan agama sehingga tujuan kebenaran orang Amerikan terlalu teoritis, ia menginginkan hasil yang kongkret, untuk menemukan esensi tersebut maka harus diselidiki konsekwensi praktisnya.[11]  Pragmatisme kemudian dikembangkan oleh John Dewey, menurut Dewey filsafat tidak boleh berada dalam pemikiran metafisika yang tidak ada manfaatnya. Dengan demikian filsafat harus berdasarkan pada pengalaman, kemudian mengadakan penyelidikan dan mengolahnya secara kritis sehingga filsafat dapat memberikan sistem norma dan nilai-nilai.
            Filsafat kadang kala lahir tidak selamanya dalam keadaan normal, salah satunya adalah eksistensialisme. Lahirnya eksistensialisme berangkat dari suatu krisis kemanusiaan akibat perang dunia I terutama di Eropa barat, dalam bidang filsafat eksistensialisme mengkritik paham materialisme yang menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek. Manusia berpikir, berkesadaran inilah yang tidak disadari oleh materialisme. Dengan demikian manusia dalam pandangan materialisme melulu menjadi objek. Sementara idealisme sebaliknya, berpikir dan berkesadaran dilebih-lebihkan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran. Idealisme dalam hal ini hanya memandang manusia sebagai subjek. Aliran ini dikembangkan oleh Soren Kierkegaard kemudian diteruskan oleh Jean Paul Sartre.[12]
            Filsafat untuk abad sekarang bukan lagi barang baru dan momok yang harus ditakutkan oleh banyak orang, tetapi yang menjadi kendala dalam menyampaikan maksud-maksud filsafat kepada masyarakat secara luas yaitu bahasa. Filsuf dalam kondisi seperti itu harus menaruh perhatian besar guna menjelaskan kaidah-kaidah bahasa dalam filsafat agar mudah dipahami oleh masyarakat. Perhatian terhadap bahasa tersebut awalnya dilakukan oleh G.E. More, kemudian diteruskan oleh B. Russel dan Wittgenstein. Melalui Wittgenstein inilah muncul metode analisis bahasa. Metode analisis bahasa yang ditampilkan oleh Wittgenstein berhasil membentuk pola pemikiran baru dalam dunia filsafat. Tugas filsafat bukan saja membentuk pernyataan tentang sesuatu yang khusus, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap logika bahasa. [13]
            Filsafat dengan demikian sejak kemunculanya sampai sekarang telah memberikan warna menarik, terutama dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan sambil memberikan jawaban-jawaban kepada kita sebagai manusia yang hidup pada abad modern ini.
Penutup
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis, krisis berarati penentuan, bila terjadi krisis orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Filsafat dengan demikian perjalanan dari satu krisis ke krisis lain. Ini berarti bahwa manusia yang berfilsafat senantiasa meninjau kembali eksistensi dirinya dan alam di sekitarnya. Filsafat sejak Thales sudah mempersoalkan alam sekitarnya. Pada Socrates, Plato dan Aristoteles persoalan yang dipetanyakan jauh meningkat yaitu mempertanyakan eksistensi manusia, meskipun eksistensi manusia yang tinggi pada Yunani kuno kurang mendapat perhatian abad pertengahan.
            Kehadiran filsafat abad modern yang diawali oleh gerakan renaissance berusaha mengembalikan eksistensi kemanusia yang hilang oleh tidur pajang 1000 tahun lebih. Abad modern ditandai oleh penemuan-penemuan besar dalam bidang ilmu pengetahun sehingga abad modern menjadi abad kembalinya subjektivitas dengan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada peranan akal. Munculnya aliran-aliran berbeda menunjukkan bahwa abad modern telah memperbaharui sudut pandang dogmatis manusia kepada pemahaman pluralis yang didukung oleh data dan fakta rasional dan empiris.


sumber :lkas.org
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati